Sesuai dengan letak geografisnya, Pekalongan berada di pesisir utara
Jawa sebelah barat. Dengan letak tersebut menyebabkan pertumbuhan batik
Pekalongan abad ke-15 M tidak jauh berbeda dengan sejarah pertumbuhan
batik di kota-kota pesisir Jawa di kawasan timur. Daerah pesisir
merupakan daerah lalu lintas ekonomi.
Pengembangan seni batik
pesisiran juga dipengaruhi oleh budaya kraton sebagai pusat
pemerintahan. Kraton Cirebon pada masa itu telah menjadi kiblat budaya
dan agama bagi penduduk kota-kota pesisir Jawa sebelah barat. Dalam
sejarah batik pesisiran, seperti Pekalongan, Tegal, Indramayu, Karawang,
Ciamis, Tasikmalaya, dan Garut, pola batiknya mengambil pola hias pada
kraton Cirebon. Awal Pengembangan batik Cirebon mempunyai hubungan yang
erat.
Pola hias batik cirebon mendapat pengaruh dari
bentuk ragam hias taman Sunyaragi dan Keraton Pakungwati. Bentuk taman
Sunyaragi digambarkan tanah wadas meniru keadaan di negara Cina.
Demikian pula bentuk megamendung dan kontur ombak-ombak laut.
Batik
Cirebon mengambil tema ragam hias pada bangunan Taman Sunyaragi dan
Keraton. Batik Pekalongan lebih banyak dipengaruhi oleh ragam hias
keramik Cina. Ragam hias keramik Cina banyak menghiasi bangunan Keraton
Kasepuhan dan Makam Raja-Raja Cirebon di Gunung Jati.
Obyek
lukisan keramik Cina pada dinasti Ming yang menjadi lambang kemegahan
dan kekayaan keraton Cirebon rupanya menjadi perhatian perajin batik
Pekalongan.
Perajin batik Pekalongan telah menempatkan
hiasan keramik Cina ini sebagai kebudayaan leluhur. Pilihan ragam hias,
seperti bunga persik, bunga rose, sulur daun, sulur pandan, dan teratai
adalah ragam hias jenis flora yang sebagian besar menjadi obejk utama.
Ragam hias semacam itu banyak didapat pada lukisan keramik, Pola jenis
daun melengkapi ragam hias flora, seperti bentuk burung pipit, burung
merak, ular baga, ataupun kupu-kupu.
Itulah sejumlah
jenis ragam hias yang sejak awal sudah menjadi pilihan perkembangan
corak batik Pekalongan. Warna-warni yang mencolok sangat kontras jika
dibanding dengan batik pedalaman, seperti Yogyakarta dan Solo.
Pilihan
warna yang mencolok dari batik Pekalongan tampaknya tidak sekedar
sebagai pelengkap pola hias. Adanya pengaruh warna keramik pada masa
dinasi Ming yang hanya diproduksi pada abad ke-17 sampai 18. Selain biru
putih juga diproduksi berbagai warna. Menurut filsafat Cina kuno,
warna-warna tersebut menyimbolkan makna keaktifan, kejantanan, dan
keperkasaan. Melalui simbol warna, hal itu diekspresikan dengan serba
terang dan bergerak serta penuh variasi (dinamika).
Melalui seni batik mereka memiliki tujuan ganda sebagai seni pakai dan akulturasi terhadap keindahan tanah leluhur.
Namun,
sebelum ragam hias keramik Ming abad 17 mewarnai corak batiknya, batik
Pekalongan pernah mendapatkan penghargaan di tengah-tengah keluarga Cina
ningrat, yaitu dari Ratu Roro Sumanding. Ratu Roro Semanding adalah
istri Sunan Cirebon Syarif Hidayatullah yang nama aslinya Tan Eng Hoat.
Penghargaan ini diberikan karena karya-karya batik Pekalongan yang
diadaptasi dari keramik telah membawa kebesaran nama dinasti Ming
sebagai penguasa kerajaan Cina. Ming yang berarti cemerlang atau
berkilauan.
Penghargaan
terhadap batik Pekalongan oleh Kraton Cirebon selain ragam hias dari
keramik Ming juga karena teknik pembuatannya yang berbeda dengan
daerah-daerah lain pada zaman itu. Pada masa itu, perajin batik
Pekalongan menggunakan teknik pewarnaan melukis (colet). Sementara itu,
di daerah lain dalam membuat warna masih menggunakan teknik celup.
Teknik
colet mempermudah untuk mencapai pewarnaan yang dikehendaki sehingga
setiap detail motif hias dapat dilukis dengan sempurna sesuai dengan
yang dikehendaki. Teknik melukis warna melalui sapuan kuas (colet) bukan
sesuatu yang baru. Teknik semacam ini berkaitan dengan kerajinan tangan
(terutama kerajinan sutra dan porselin) di Cina pada masa kekaisaran
Ming.
Dalam mata rantai perdagangan, bahan warna yang
berupa indigosol, India merupakan negara pemasok utama bagi Cina. Bahan
pewarna kain ini pada masa dinasti Ming didatangkan dari India. Menurut
Ruffear, jalur perdagangan bahan pewarna tekstil mengikuti jalur lama,
yaitu dari India ke Indonesia dan dari Indonesia ke Cina. Begitu pula
sebaliknya.
Jalur perjalanan Cheng-Ho ke Samudra Barat
yang ditulis Zheng He Xia yang dimulai dari Nanjing (Ibu kota).
Kapal-kapal berlabuh di Qui-Nho melalui Cina Selatan langsung (India)
atau Teluk Benggala (Bengali) dan perjalanan dilanjutkan ke Arab atau
Afrika dan Eropa. Begitu sebaliknya.
Dari hubungan
perdagangan antarpulau dan antarnegara yang melewati jalur laut itu,
pedagang Pekalongan tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan
pengetahuan baik teknis, bahan kain, maupun bahan pewarna. Hal itu
karena Pekalongan termasuk kota pelabuhan, seperti Surabaya, Gresik,
Tuban, Demak, dan Cirebon.
Pada tahun 1620, batik telah
menjadi sumber mata pencaharian masyarakat Pekalongan. Hampir setengah
abad batik dirintis oleh pedagang Cina di kampong Sampangan. Pada
tahun-tahun itu para buruh pribumi mulai membuka usaha sendiri. Dr.
Kusnin Asa mengatakan masa itu sebagai masa harapan dan kecemasan.
Kondisi tersebut dipengaruhi kondisi politik oleh beralihnya status
Pekalongan menjadi tanah perdikan dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram
yang sebelumnya dibawah kekuasaan Kesultanan Cirebon. Perpindahan status
tersebut mengakibatkan masyarakat Pekalongan merasa diperlakukan
sebagai daerah jajahan.
Pada periode ini juga mulai
diberlakukan aturan pemakaian batik dimana masyarakat biasa dilarang
memakai maupun memproduksi batik bermotif larangan (Awisaning
Ratu/Larangan Dalem). Batik dengan motif batik jenis ini hanya boleh
dikenakan oleh keluarga Keraton.
Meskipun Pekalongan
pada masa Mataram dilarang memproduksi batik pola larangan, namun
perajin di desa-desa masih membuat batik tradisi lama berpola
kawung-gringsing atau tumpal. Namun, pembuatan batik ini tidak
mempengaruhi pengembangan batik asli, seperti Jlamprang atau batik
campuran gaya Cina.
Diskriminasi pemakaian busana ini
melahirkan kebencian kaum pedagang muslim dan Tionghoa kepada kaum
priyayi penguasa. Sikap perlawanan masyarakat Pekalongan terhadap
kekuasaan Mataram ini mempengaruhi munculnya corak-corak batik
Pekalongan. Sikap perlawanan masyarakat Pekalongan tersebut menjadikan
daerah tetangga sekitarnya menyebutnya dengan semboyan Merak Ngigel
digambarkan dengan simbol burung merak yang sedang menari sehingga
memberikan makna sifat-sifat masyarakat Pekalongan yang tidak mau
ditindas dan mandiri
Batik Cirebon kuno beragam
hias Singobarong dan banyak nama-nama batik Cirebon lainnya yang
mendapat pengaruh kuat dari peninggalaan ragam hias bermotif seni Cina.
Dalam pilihan warna, batik Cirebon telah mendapat pengaruh warna dari
keramik biru dan putih. Meskipun ada warna-warna yang mencolok di luar
biru dan putih, tetapi sejarah warna batik Cirebon dimulai dengan dua
warna biru dan putih.
No comments:
Post a Comment